Yuki, kamu bisa pelan nggak bawa motornya. Aku takut!” pekik
Ela.
Mereka sedang dalam perjalanan menuju kota bukit tinggi.
Kira-kira dua jam dari koa padang. Yuki mengajaknya ke kota itu dengan menaiki
motor yang ia sewa tadi. Tidakkah lelaki ini berpkir bahwa Ela takut untuk naik
motor keluar kota. Apalagi jalan ke sana harus mendaki bukit dan melewati
lembah. Belum lagi, lelaki ini membawa motor dengan kecepatan yang sangat
membuat Ela gamang di atasnya.
“Yuki, jangan terlalu ngebut!” pinta Ela pada suaminya.
“kamu tenang aja, kalau takut pegangan dong” Yuki meraih
tangan istrinya. Dan melingkarkan tangan itu ke pinggangnya. Hal ini membuat Ela menjadi semakin gamang,
bukan gamang karna takut jatuh. Tapi gamang untuk lebih jatuh cinta pada
suaminya. Jika pria ini melaksanakan pernikahan karna tak ada cinta dan tak
bisa berjanji menjadi suami yang baik. Lalu apa ini? Bukankah hal kecil ini
begitu manis jika dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya. Atau hal yang
menyeramkan. Ela telah memberitahukannya bahwa gadis itu takut naik motor
lama-lama dan ngebut lagi. Tapi, pria ini tak sedikitpun mengurangi kecepatan
motor. Sekarang malah ia beraksi seolah memberikan perlindungan. Apa pria ini
ingin membuatnya nyaman dengan memberikan gadis itu ketakutan dulu di awal.
“kamu kenapa milih naik motor sih?”
“lebih amazing La. Kamu coba deh nikmatin pemandangan ala
mini. Lebih tertangkap dan terasa segarnya jika kita naik motor” jawab Yuki.
“Amazing apanya. Ngeri sih iya”
Yuki terkekeh mendengar suara gerutu Ela. Rasanya senang
baginya melihat ekspresi yang selalu muncul dari wajah istrinya itu. “hehehe. Coba deh kamu lihat. Tuh di depan
ada air terjun lembah anai. Sebentar lagi kita akan lewat di depannya. Kamu jangan
merem matanya”

(gambar berasal dari google)
Ela tak menghiraukan ucapan Yuki yang terakhir. Ia lebih
memilih untuk focus melihat pemandangan air terjun yang sekarang ada di depan
matanya. Begitu sejuk ketika melewati nya, belum lagi deburan suaran air yang
menenangkan. Tapi itu hanya beberapa detik. Pemandangan hilang dibelakang
mereka. Motor itu tetap melaju dengan kecepatan yang ditetapkan Yuki. Jalan
yang di tempuh semakin menanjak, dan bukit-bukit dengan perpohonan mengelilingi
jalan mereka. Segar. Begitu perasaa Ela saat menghirup udara saat melintasi
bukit itu. kapan kah udara bersih ini ia hirup. Entahlah. Teralu lama rasanya
ia menghirup suasana yang menyesakkan di dadanya. Apalagi saat peristiwa
beberapa bulan yang lalu. Yang membumi hanguskan senyum di wajahnya. Bahkan hari-harinya.
Walau sekarang masih ada sisa-sisa asapnya, tapi terasa sudah berangsur lenyap
dengan kesegaran yang ia hirup sekarang.
Sesampainya di bukit tinggi, Yuki ternyata mengajaknya ke
rumah makan dulu di dekat pasar atas. Ia memang menjalankan niatnya untuk
hunting rending dari tanah minang ini. Begitulah pemikiran Ela. Di rumah makan
itu, Ela melihat Yuki makan begitu lahap semua hidangan yang tersedia diatas
meja. Tidakkah ia berpikir berapa harga yang dibayar jika menyentuh semuanya.
Ela saja jika diajak makan di rumah makan padang hanya mampu menyentuh satu
jenis makanan. Tapi, itu rasanya tak masalah bagi orang kaya seperti Yuki.
Tiba-tiba Yuki melihatku.

(gambar berasal dari google)
“kenapa? Nggak pernah lihat orang makan banyak ya?”
“Pernah. Nih yang di depan aku” jawab Ela sambil berpaling
lagi pada makanannya.
Yuki hanya tersenyum sambil berkata “kamu kenapa dikit banget
makannya dari aku. Nggak cocok banget sama badan kamu”
Ela kesal, suaminya mulai membahasa bentuk badan soalnya.
Memang susah jadi cewek agak gemuk gini. Agak ya. Berarti Ela termasuk gadis
yang badannya berisi.
“Kamu sendiri kenapa makannya banyak. Juga nggak cocok dengan
badan kamu” ela menjawab dengan sedikit sinis pada pria di depan itu. yuki
sendiri hanya dibuat bengong beberapa detik hingga tawanya muncul, membuat Ela
bingung dengan tingkah laki-laki ini.
“tersinggung ya?”
Ela hanya memalingkan wajahnya kea rah lain dengan sedikit
mendesah.
“Maaf, aku nggak ada maksud. Aku hanya penasaran saja. Jangan
cemberut gitu dong. Merusak suasana saja jadinya”
Sekarang yuki mengatakan Ela merusak suasanan. Bukankah
laki-laki ini yang merusaknya.
“Bukannya kamu yang merusaknya. Kenapa malah lempar balik ke
aku. Dan untuk menjawab penasaran kamu ‘don’t judge the book by the cover’.
Orang berbadan seperti aku belum tentu makannya banyak lho. Bisa saja yang langsing itu juga menipu soal porsi makannya.
Dan mungkin aja ada faktor lain yang membuat tubuhku seperti ini selain istilah
‘rakus makan’”
Gelak tawa yuki pun menjadi berderai setelah mendengar
penuturan Ela. Bahkan semua pengunjung rumah makan itu sempat melirik ke arah
asal suara itu.
“apa pun istilah kamu itu. aku nggak pernah bilang begitu ke
kamu. Bukannya aku hanya bertanya kenapa makanmu sedikit. Kamu saja yang
sedikit sensitive. Jadi kamu orang yang merusak suanana”
Ela kalah telak. Ia hanya bengong. Karna tak tahu menjawab apa
lagi. Ia memilih untuk focus untuk menghabiskan makannya dengan muka ditekuk.
Sedangkan yuki melanjutkan menyantap hidangan dengan senyum menghiasi bibirnya.
****************************
(gambar berasal dari google)
Hari ini terasa begitu melelahkan. Tak terasa badan Ela terasa
remuk. Bagaimana tidak, yuki mengajaknya untuk menikmati panorama kota bukit
tinggi dengan menjelajahi jenjang seribu yang seperti tembok cina mini itu.
bukannya yuki membantu ia untuk bisa sampai di puncak tembok itu. malah
laki-laki itu tetap saja stay cool di sana. Mungkin ia malu untuk membantuku.
Secara ia tampan, banyak dilirik oleh gadis-gadis di sekitar sana. Ia mungkin
merasa malu jika wajah tampannya harus bersanding dengan istri yang badanya
bongsor seperti Ela. Membayangkan pemikirannya itu membuat Ela agak kesal
sekaligus terlihat menyedihkan.
Ia sedang menikmati kota bukit tinggi di salah satu hotel yang
megah disini. Hotel yang berada di tempat yang tinggi hingga kita bisa melihat
pemandangan kota bukittinggi dibawahnya. Mereka memutuskan untuk menginap di
kota itu dulu dikarenakan Yuki ingin meneruskan perjalanan ke kota payakumbuh
besok. Ia tak ingin balik ke padang, karna akan memakan waktu 4 jam jika dari
padang.
“Ngapain bengong di depan jendela?”
Suara yuki mengagetkan Ela. Lelaki itu memang selalu tampan.
Apalagi sekarang dengan rambut sedikit basah setelah mandi.
“bengong lagi. Nggak mandi?” Tanya yuki
“nggak. Malas. Nggak bagus juga mandi malam”
“Emangnya nggak gerah?”
“nggak” ela langsung beringsut ke tempat tidur. Ia ingin tidur
setelah lelah seharian ini.
“Mau tidur tanpa mandi? Bau dong. Nggak kuat aku tidur samping
kamu” cela yuki
Ela jadi panas. Suaminya ini sepertinya senang sekali menaikan
suhu emosi Ela. Belum lagi rasa penat yang membuat emosinya jadi tak karuan
“Kalau kamu nggak mau tidur dekat orang bau. Nggak usah tidur
di sini.” Suara ELa sedikit meninggi, terdengar napasnya memburu. Ia langsung
menutupi mukanya dengan selimut. Tangsinya pecah. Kenapa ia menangis. Ia pun
tak tahu. Rasanya ia begitu sedih saja. Kenapa yuki selalu begitu padanya. Apa
karna celaan yuki. Atau karna ia malu dengan celaan yuki yang mungki benar.
Badan gadis itu Nampak terisak di balik selimut. Yuki tahu bahwa
Ela menangis. Rasa bersalah mendatanginya. Tak ada maksud untuk ia membuat
gadis itu menangis. Ia hanya ingin membuat gadis itu sedikit kesal dengannya
hingga tak berani jatuh cinta padanya. Tapi, kenapa yuki merasa tak ingin air
mata gadis itu keluar. Ia mendekati tubuh Ela, mendekap tubuh yang tertutup
selimut itu dan berbisik.
“Maafkan aku, tak ada maksudku mencelamu. Ku mohon jangan
menangis”
Ela yang merasa sangat hangat ketika tubuh suaminya
mendekapnya, menghentikan air matanya setelah mendengar bisikan itu. kenapa
pria ini hadir menghadiahkan pelangi setelah ia turunkan hujan. Haruskah Ela
mendapatkan luka dulu untuk bahagia, haruskah ia terbakar dulu untuk sebuah
kehangatan, dan haruskah ia terjatuh dulu agar bisa disampingnya.
*****************