Frega Matahari

Frega Matahari

Kamis, 29 September 2016

Ela's story (TERBAKAR UNTUK KEHANGATAN)




Yuki, kamu bisa pelan nggak bawa motornya. Aku takut!” pekik Ela.
Mereka sedang dalam perjalanan menuju kota bukit tinggi. Kira-kira dua jam dari koa padang. Yuki mengajaknya ke kota itu dengan menaiki motor yang ia sewa tadi. Tidakkah lelaki ini berpkir bahwa Ela takut untuk naik motor keluar kota. Apalagi jalan ke sana harus mendaki bukit dan melewati lembah. Belum lagi, lelaki ini membawa motor dengan kecepatan yang sangat membuat Ela gamang di atasnya.
“Yuki, jangan terlalu ngebut!” pinta Ela pada suaminya.
“kamu tenang aja, kalau takut pegangan dong” Yuki meraih tangan istrinya. Dan melingkarkan tangan itu ke pinggangnya.  Hal ini membuat Ela menjadi semakin gamang, bukan gamang karna takut jatuh. Tapi gamang untuk lebih jatuh cinta pada suaminya. Jika pria ini melaksanakan pernikahan karna tak ada cinta dan tak bisa berjanji menjadi suami yang baik. Lalu apa ini? Bukankah hal kecil ini begitu manis jika dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya. Atau hal yang menyeramkan. Ela telah memberitahukannya bahwa gadis itu takut naik motor lama-lama dan ngebut lagi. Tapi, pria ini tak sedikitpun mengurangi kecepatan motor. Sekarang malah ia beraksi seolah memberikan perlindungan. Apa pria ini ingin membuatnya nyaman dengan memberikan gadis itu ketakutan dulu di awal.
“kamu kenapa milih naik motor sih?”
“lebih amazing La. Kamu coba deh nikmatin pemandangan ala mini. Lebih tertangkap dan terasa segarnya jika kita naik motor” jawab Yuki.
“Amazing apanya. Ngeri sih iya”
Yuki terkekeh mendengar suara gerutu Ela. Rasanya senang baginya melihat ekspresi yang selalu muncul dari wajah istrinya itu.  “hehehe. Coba deh kamu lihat. Tuh di depan ada air terjun lembah anai. Sebentar lagi kita akan lewat di depannya. Kamu jangan merem matanya”
Hasil gambar
(gambar berasal dari google)
Ela tak menghiraukan ucapan Yuki yang terakhir. Ia lebih memilih untuk focus melihat pemandangan air terjun yang sekarang ada di depan matanya. Begitu sejuk ketika melewati nya, belum lagi deburan suaran air yang menenangkan. Tapi itu hanya beberapa detik. Pemandangan hilang dibelakang mereka. Motor itu tetap melaju dengan kecepatan yang ditetapkan Yuki. Jalan yang di tempuh semakin menanjak, dan bukit-bukit dengan perpohonan mengelilingi jalan mereka. Segar. Begitu perasaa Ela saat menghirup udara saat melintasi bukit itu. kapan kah udara bersih ini ia hirup. Entahlah. Teralu lama rasanya ia menghirup suasana yang menyesakkan di dadanya. Apalagi saat peristiwa beberapa bulan yang lalu. Yang membumi hanguskan senyum di wajahnya. Bahkan hari-harinya. Walau sekarang masih ada sisa-sisa asapnya, tapi terasa sudah berangsur lenyap dengan kesegaran yang ia hirup sekarang.
Sesampainya di bukit tinggi, Yuki ternyata mengajaknya ke rumah makan dulu di dekat pasar atas. Ia memang menjalankan niatnya untuk hunting rending dari tanah minang ini. Begitulah pemikiran Ela. Di rumah makan itu, Ela melihat Yuki makan begitu lahap semua hidangan yang tersedia diatas meja. Tidakkah ia berpikir berapa harga yang dibayar jika menyentuh semuanya. Ela saja jika diajak makan di rumah makan padang hanya mampu menyentuh satu jenis makanan. Tapi, itu rasanya tak masalah bagi orang kaya seperti Yuki. Tiba-tiba Yuki melihatku.
Hasil gambar untuk rumaha makan di bukittinggi
(gambar berasal dari google)
“kenapa? Nggak pernah lihat orang makan banyak ya?”
“Pernah. Nih yang di depan aku” jawab Ela sambil berpaling lagi pada makanannya.
Yuki hanya tersenyum sambil berkata “kamu kenapa dikit banget makannya dari aku. Nggak cocok banget sama badan kamu”
Ela kesal, suaminya mulai membahasa bentuk badan soalnya. Memang susah jadi cewek agak gemuk gini. Agak ya. Berarti Ela termasuk gadis yang badannya berisi.
“Kamu sendiri kenapa makannya banyak. Juga nggak cocok dengan badan kamu” ela menjawab dengan sedikit sinis pada pria di depan itu. yuki sendiri hanya dibuat bengong beberapa detik hingga tawanya muncul, membuat Ela bingung dengan tingkah laki-laki ini.
“tersinggung ya?”
Ela hanya memalingkan wajahnya kea rah lain dengan sedikit mendesah.
“Maaf, aku nggak ada maksud. Aku hanya penasaran saja. Jangan cemberut gitu dong. Merusak suasana saja jadinya”
Sekarang yuki mengatakan Ela merusak suasanan. Bukankah laki-laki ini yang merusaknya.
“Bukannya kamu yang merusaknya. Kenapa malah lempar balik ke aku. Dan untuk menjawab penasaran kamu ‘don’t judge the book by the cover’. Orang berbadan seperti aku belum tentu makannya banyak lho. Bisa saja yang  langsing itu juga menipu soal porsi makannya. Dan mungkin aja ada faktor lain yang membuat tubuhku seperti ini selain istilah ‘rakus makan’”
Gelak tawa yuki pun menjadi berderai setelah mendengar penuturan Ela. Bahkan semua pengunjung rumah makan itu sempat melirik ke arah asal suara itu.
“apa pun istilah kamu itu. aku nggak pernah bilang begitu ke kamu. Bukannya aku hanya bertanya kenapa makanmu sedikit. Kamu saja yang sedikit sensitive. Jadi kamu orang yang merusak suanana”
Ela kalah telak. Ia hanya bengong. Karna tak tahu menjawab apa lagi. Ia memilih untuk focus untuk menghabiskan makannya dengan muka ditekuk. Sedangkan yuki melanjutkan menyantap hidangan dengan senyum menghiasi bibirnya.
                                      ****************************
(gambar berasal dari google)
Hari ini terasa begitu melelahkan. Tak terasa badan Ela terasa remuk. Bagaimana tidak, yuki mengajaknya untuk menikmati panorama kota bukit tinggi dengan menjelajahi jenjang seribu yang seperti tembok cina mini itu. bukannya yuki membantu ia untuk bisa sampai di puncak tembok itu. malah laki-laki itu tetap saja stay cool di sana. Mungkin ia malu untuk membantuku. Secara ia tampan, banyak dilirik oleh gadis-gadis di sekitar sana. Ia mungkin merasa malu jika wajah tampannya harus bersanding dengan istri yang badanya bongsor seperti Ela. Membayangkan pemikirannya itu membuat Ela agak kesal sekaligus terlihat menyedihkan.
Ia sedang menikmati kota bukit tinggi di salah satu hotel yang megah disini. Hotel yang berada di tempat yang tinggi hingga kita bisa melihat pemandangan kota bukittinggi dibawahnya. Mereka memutuskan untuk menginap di kota itu dulu dikarenakan Yuki ingin meneruskan perjalanan ke kota payakumbuh besok. Ia tak ingin balik ke padang, karna akan memakan waktu 4 jam jika dari padang.
“Ngapain bengong di depan jendela?”
Suara yuki mengagetkan Ela. Lelaki itu memang selalu tampan. Apalagi sekarang dengan rambut sedikit basah setelah mandi.
“bengong lagi. Nggak mandi?” Tanya yuki
“nggak. Malas. Nggak bagus juga mandi malam”
“Emangnya nggak gerah?”
“nggak” ela langsung beringsut ke tempat tidur. Ia ingin tidur setelah lelah seharian ini.
“Mau tidur tanpa mandi? Bau dong. Nggak kuat aku tidur samping kamu” cela yuki
Ela jadi panas. Suaminya ini sepertinya senang sekali menaikan suhu emosi Ela. Belum lagi rasa penat yang membuat emosinya jadi tak karuan
“Kalau kamu nggak mau tidur dekat orang bau. Nggak usah tidur di sini.” Suara ELa sedikit meninggi, terdengar napasnya memburu. Ia langsung menutupi mukanya dengan selimut. Tangsinya pecah. Kenapa ia menangis. Ia pun tak tahu. Rasanya ia begitu sedih saja. Kenapa yuki selalu begitu padanya. Apa karna celaan yuki. Atau karna ia malu dengan celaan yuki yang mungki benar.
Badan gadis itu Nampak terisak di balik selimut. Yuki tahu bahwa Ela menangis. Rasa bersalah mendatanginya. Tak ada maksud untuk ia membuat gadis itu menangis. Ia hanya ingin membuat gadis itu sedikit kesal dengannya hingga tak berani jatuh cinta padanya. Tapi, kenapa yuki merasa tak ingin air mata gadis itu keluar. Ia mendekati tubuh Ela, mendekap tubuh yang tertutup selimut itu dan berbisik.
“Maafkan aku, tak ada maksudku mencelamu. Ku mohon jangan menangis”
Ela yang merasa sangat hangat ketika tubuh suaminya mendekapnya, menghentikan air matanya setelah mendengar bisikan itu. kenapa pria ini hadir menghadiahkan pelangi setelah ia turunkan hujan. Haruskah Ela mendapatkan luka dulu untuk bahagia, haruskah ia terbakar dulu untuk sebuah kehangatan, dan haruskah ia terjatuh dulu agar bisa disampingnya.
*****************


Tidak ada komentar:

Posting Komentar